Kelas 4 Tema 8 Subtema 2 Pembelajaran 3
Kelas 4 Tema 8 Subtema 2 Pembelajaran 3
Pada kesempatan kali ini anak-anak akan mempelajari Subtema 2 Pembelajaran 3. Untuk lebih jelasnya anak-anak bisa menonton video di bawah ini.
Hari itu, Dayu dan teman-teman berdiskusi mengenai berbagai pekerjaan
sesuai lingkungan tempat tinggalnya. Mereka juga berdiskusi mengenai
pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Dayu bercerita bahwa
dia dan ayahnya pernah berbincang dengan seorang bapak yang pekerjaannya
menjadi badut.
Bapak itu bernama Pak Andi. Pak Andi bekerja di sebuah mal dari
pukul 15.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Pagi hari, Pak Andi menjadi badut
di sebuah taman bermain yang letaknya tidak jauh dari mal. Sampai
akhirnya, pem bicaraan D ayu, Ayah D ayu, dan Pak Andi berlanjut
dengan bertukar alamat. Ternyata, tempat tinggal Pak Andi tidak jauh dari mal
yang Dayu kunjungi.
Kota Yogyakarta memiliki banyak keunikan. Pada Pembelajaran 2 kamu
sudah mengetahui keunikan Yogyakarta di antaranya dilihat dari tempat
wisata, transportasi, dan adat istiadat berupa upacara adat. Tidak hanya
itu, kota Yogyakarta juga memiliki keunikan di bidang pendidikan. Banyak
sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi di Kota Yogyakarta.
Oleh
karena itu, banyak orang dari daerah lain bahkan dari mancanegara datang
ke Yogyakarta untuk belajar. Tahukah kamu perguruan tinggi di Yogyakarta
yang sangat terkenal? Perguruan tinggi itu adalah Universitas Gadjah Mada
yang disingkat UGM. Selain UGM, masih banyak lagi perguruan tinggi di
Yogyakarta seperti Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan
dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Karena banyak perguruan
tinggi di Yogyakarta, banyak orang yang bekerja sebagai dosen atau guru.
Daerah tempat tinggal penduduk Yogyakarta beragam. Ada daerah dataran
tinggi, dataran rendah, pesisir, kota, dan desa. Di Yogyakarta juga banyak
dijumpai sungai, di antaranya Sungai Opak, Sungai Code, Sungai Kuning, Sungai
Progo, dan Sungai Gajah Wong.
Kali Gajah Wong
Hari itu, Ki Sapa Wira bersiul riang. Seperti biasa, ia akan memandikan
gajah milik junjungannya, Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram. Mulailah ia memandikan gajah yang berasal dari negeri Siam itu. Dengan
hati-hati, Ki Sapa Wira menuntun gajah yang dinamai Kyai Dwipangga
itu.
Mereka berjalan ke sungai yang terletak di dekat Keraton Mataram.
“Nah, sekarang kau sudah bersih. Rambutmu sudah mengilap, sekarang
ayo kembali ke kandangmu,” kata Ki Sapa Wira kepada Kyai Dwipangga.
Ki Sapa Wira memang memperlakukan Kyai Dwipangga seperti anaknya
sendiri. Tak heran, Kyai Dwipangga amat patuh padanya.
Suatu hari, Ki Sapa Wira tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Ada
bisul besar di ketiaknya, rasanya ngilu sekali.
Badannya juga demam
karena bisul itu. Ia meminta tolong pada adik iparnya, Ki Kerti Pejok,
untuk menggantikan memandikan Kyai Dwipangga. “Kerti, tolong
aku ya. Aku benar-benar tak bisa bekerja hari ini,” kata Ki Sapa Wira.
“Tenang Kang, aku pasti akan membantumu. Tapi tolong beritahu,
bagaimana caranya supaya gajah itu menurut padaku? Aku takut jika
nanti ia marah dan menyerangku,” jawab Ki Kerti Pejok.
“Biasanya kalau ia mulai gelisah, pantatnya aku tepuk-tepuk, lalu
aku tarik ekornya. Nanti ia akan kembali tenang dan berendam sendiri
di sungai. Kau tinggal memandikannya,” jelas Ki Sapa Wira. Ki Kerti
Pejok mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia lalu berangkat ke sungai
untuk memandikan Kyai Dwipangga.
Sepanjang perjalanan
Ki Kerti Pejok mengajak Kyai Dwipangga
mengobrol. Ia juga membawa buah-buahan sebagai bekal dalam
perjalanan. “Gajah gendut, kau mau makan kelapa?” tanyanya sambil
melemparkan sebutir kelapa pada Kyai Dwipangga. Kyai Dwipangga
menangkap kelapa itu dengan belalainya. Dengan mudah ia memecah
kelapa itu dan memakannya.
“Sekarang kau sudah kenyang, kan? Ayo jalan lagi,” kata Ki Kerti
Pejok sambil memukul pantat Kyai Dwipangga.
Sesampainya di sungai, Ki Kerti Pejok melaksanakan tugasnya
dengan mudah. Digosoknya seluruh bagian tubuh Kyai Dwipangga
sampai bersih dan berkilap. Setelah itu mereka pulang ke keraton
Mataram.
“Kang, hari ini aku sudah melaksanakan tugasku dengan
baik. Apa besok Kakang masih memerlukan bantuanku?” tanya Ki Kerti
Pejok pada Ki Sapa Wira.
“Jika kau tak keberatan, maukah kau memandikannya sekali lagi?
Aku masih demam, sedangkan gajah itu harus dimandikan setiap hari,”
jawab Ki Sapa Wira.
“Baik Kang, aku tidak keberatan. Toh gajah itu sangat penurut. Jadi,
aku tak kesulitan saat memandikannya,” kata Ki Kerti Pejok.
“Terima kasih Kerti, lusa aku pasti sudah sembuh. Kau akan bebas
dari tugas ini,” kata Ki Sapa Wira.
Keesokan harinya, Ki Kerti Pejok menjemput Kyai Dwipangga. Pagi
itu hujan turun rintik-rintik, tapi sepertinya tak akan bertambah deras.
Di sungai Ki Kerti Pejok bimbang karena dilihatnya air sungai sedang
surut.
“Wah, airnya dangkal sekali. Mana bisa gajah ini berendam? Aku
sendiri saja tak bisa, apalagi gajah yang besar?” pikirnya dalam hati.
“Gajah gendut, kita cari sungai yang lain saja. Sungai ini dangkal,
kau tak akan bisa berendam di sini.” Ki Kerti Pejok menuntun Kyai Dwipangga ke hilir sungai. Di situ air
tampak tinggi dan aliran juga cukup deras. “Nah, di sini sepertinya
lebih asyik. Ayo, sana masuk, berendamlah. Aku akan menggosok
punggungmu dengan daun kelapa ini,” kata Ki Kerti Pejok sambil
memukul pantat Kyai Dwipangga. Sambil memandikan Kyai Dwipangga,
Ki Kerti Pejok berpikir dalam hati.
“Sebaiknya aku beritahu Kakang untuk memandikan gajahnya di
sini. Disini airnya lebih dalam, arusnya juga cukup deras. Aneh, kok
selama ini Kanjeng Sultan Agung tak tahu keberadaan sungai ini, ya?”
Saat ia sibuk berbicara sendiri, tiba-tiba dari arah hulu datanglah
banjir bandang yang sangat besar.
Banjir itu datang dengan sangat
cepat. Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga bahkan tak menyadarinya.
Dalam sekejap, mereka terhempas dan terbawa arus. “Tolong...
tolonggg...,” teriak Ki Kerti Pejok. Tapi tak ada yang mendengar. Sungguh
menyedihkan nasib Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga.
Mereka terseret
arus dan hanyut sampai ke Laut Selatan.
Sungguh sangat disayangkan, mereka binasa dalam keganasan
banjir bandang itu. Ki Kerti Pejok tak tahu bahwa selama ini Sultan
Agung memang melarang para abdinya memandikan gajah di hilir
sungai. Karena ia tahu bahaya bisa datang sewaktu-waktu di sana.
Ki
Sapa Wira berduka. Ia sangat sedih karena kehilangan adik ipar dan
gajah kesayangannya.
Untuk mengenang kejadian itu, Sultan Agung menamakan sungai
itu Kali Gajah Wong. Kali berarti sungai, gajah wong berarti gajah dan
orang. Kali Gajah Wong ini terletak di sebelah timur Kota Yogyakarta.
Posting Komentar untuk "Kelas 4 Tema 8 Subtema 2 Pembelajaran 3"